Randai dalam sejarah Minangkabau dahulu kala dimainkan oleh masyarakat Pariangan Padang Panjang. Randai adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang, berkelompok atau beregu, dimana dalam randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya.

Pemeran utama berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan berlansungnya acara tersebut.
Sekarang ini Randai merupakan sesuatu yang asing bagi pemuda-pemudi Minangkabau, hal ini dikarenakan bergesernya orientasi kesenian atau kegemaran dari generasi tersebut. Randai tersebar hampir diseluruh pelosok sumatera barat diantaranya daerah Bukittinggi, Batusangkar, Solok, Pasisia, Padang Pariaman, Pariaman, Payakumbuh dan tempat lainnya.

Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang (tari) yang bersumber dari gerakan-gerakan silat Minangkabau. namun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara modern, seperti kelompok Dardanela dan Tonil pada awal abad ke 20.

Jadi, Randai adalah media untuk menyampaikan cerita-cerita rakyat, dan kurang tepat jika Randai disebut sebagai Teater tradisi Minangkabau walaupun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya bercerita atau dialog teater atau sandiwara.
“Sebelum randai menjadi teater berkembang saat ini, dulunya adalah tari randai. Tari randai dipelihara di perguruan silat yang mengajarkan Ulua Ambek terutama di daerah pesisir (Padang Pariaman). Tak heran tari-tari Minang kontemporer dewasa ini, ada yang pola gerak dan pola dialog seperti randai.


Fungsi Tari Randai

Sebagai hiburan masyarakat biasanya yang diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul Fitri. Untuk mempertebal rasa ketradisian juga memberi kesempurnaan terhadap adat istiadat Minangkabau itu sendiri, sarana Aspirasi dan Media Informasi.

Unsur Estetis dan Keunikan Tari Randai
Randai berasal dari perkataan merandai berarti mengarang atau melingkar suatu kawasan lapang untuk mencari sesuatu yang hilang. Terdapat berbagai versi sebenarnya tentang asal usul randai ini. Struktur persembahan randai berkonsepkan gerak tari silat diselangi nyanyian berunsur lagu rakyat serta diiringi musik talempong, rebana, salung, gong dan gendang. Randai sering di persembahkan pada pesta menuai padi, upacara perkahwinan dan adat istiadat lain.

Penampilan anak randai penuh pesona dan seru. Tontonan sekitar tiga jam itu sering membuat penonton (segala usia; dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga kakek-nenek) tertawa riang, diiringi cerita yang didendangkan (gurindam) dan diiringi saluang. Cerita bergulir, mengisahkan anak gadis (Sari Banilai) menolak keinginan orangtuanya (Datuk Tumanggung Tuo) untuk dinikahkan dengan bako-kemenakan Datuk Tumanggung Tuo-bernama Malendo Alam.

Oleh mamaknya, Lelo Manjo, Sari Banilai dinikahkan dengan bekas teman sekolahnya, Rambun Sati. Dendam Datuk Tumanggung Kayo dan kemenakannya Malendo Alam pun bergejolak. Ketika Sari Banilai pindah ke Kota Medan, rumah yang ditinggalkannya dibakar oleh Malendo Alam. Keinginan ayak/mamak untuk menyelamatkan “Sako dan Pusako” lenyap sudah, karena mengikuti kehendak hawa nafsu.
Kesenian randai tak kalah hebat dan mengagumkan dengan tarian lainnya. Yang menarik dan mengagumkan, perwatakan tokoh dalam penampilan randai tidak diungkapkan melalui tata rias, tetapi disampaikan lewat dendang (gurindam).


Sumber: (http://www.minangforum.com/)

Advertisement

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top